Senin, 24 Ramadhan 1438 H / 19 Juni 2017
Penulis: Fitra Yadi
Saudara kaum Muslimin. Ramadhan hampir habis, sekarang kita sudah berada pada 10 malam terakhir. Melihat fenomena pelaksanaan shalat Tarawih yang bermacam ragam di daerah kita. Ada satu mesjid yang shalat 8 rakaat dan ada pula yang shalat 20 rakaat. Dan ada lagi yang melaksanakan 8 rakaat dan 20 rakaat dalam satu masjid bersamaan, hal itu seperti yang terjadi di Masjid Kuno Bingkudu dan masjid Nurul Yaqin Labuang nagari Canduang Koto Laweh kecamatan Canduang kabupaten Agam Sumatera Barat. Dimana setelah 8 rakaat jama’ah berpisah menjadi dua bagian, imam yang pertama melanjutkan shalat sampai 20 rakaat dan tampil imam yang kedua memimpin jama’ah di sebelah kiri mesjid melaksanakan shalat witir.
Dalam pelaksanaan shalat tarawih ada yang melaksanakannya sebanyak 8 rakaat dengan 2 kali salam kemudian diiringi dengan shalat witir 3 rakaat sekali salam, jadi berjumlah sebelas rakaat. Ada lagi yang melaksanakannya 8 rakaat dengan empat kali salam (dua rakaat kemudian salam) setelah itu ditutup dengan witir dua rakaat kemudian ditambah satu rakaat, jadi berjumlah sebelas rakaat. Dan ada lagi yang melaksanakannya sebanyak 20 rakaat dengan dua rakaat kemudian salam setelah itu ditutup dengan witir dua rakat ditambah satu rakaat kemudian salam, jadi berjumlah dua puluh tiga rakaat.
Sehingga hal itu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat berapakah bilangan shalat tarawih itu yang sesungguhnya?Apakah 8 atau 20 rakaat? Bagaimanakah cara pelaksanaannya? Apakah dua-dua rakaat atau empat-empat rakaat? Setelah melakukan shalat witir, apakah masih boleh melakukan shalat malam? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Hal diatas adalah salah satu bentuk furuiyah ikhtilafiyah yakni masalah sub cabang hukum Islam yang tidak pernah ketemu dalam titik kesepakatan ulama berdasarkan beragamnya dalil yang dipahami. Ini hanya masalah cabang saja, bukan masalah pokok, bukan masalah prinsipil beragama, tidak menjadi persoalan. Yang masalah prinsipil adalah semisal Aqidah dan Tauhid, bila sudah berbeda dalam aqidah, bila ketauhidan sudah kena semisal syirik, khurafat dan takhayyul meraja lela, ini baru menjadi persoalan.
Tidak tepat kiranya bila kita memperdebatkan hal demikian dan menjadikannya sebagai dasar untuk mengklaim kebenaran sepihak saja mengatakan ini yang benar dan itu yang salah. Sebaiknya hal ini kita jadikan saja sebagai khazanah-kekayaan ummat dalam melakukan ijtihad.
Hal aneh sering terjadi, logika terbalik sering mengemuka dimana orang lebih sibuk mempermasalahkan orang lain yang berbeda pelaksanaan shalat Tarawihnya dibanding orang yang tidak pernah ke masjid melaksanakan ibadah shalat Tarawih. Bukankah shalat itu dalam rangka menyembah Allah mengekspresikan kecintaan dan penghambaan kepada-Nya? Banyak-banyak beribadah adalah dalam rangka bertaqarrub mendekatkan diri kepada-Nya. Bila menurut kita teman salah dalam pelaksanaan ibadah sudah semestinya kita mempertanyakannya jangan buru-buru menyalahkan, bisa jadi ia berbeda dalam memahami dalil yang sama atau bisa jadi ia memahami dalil yang lain yang kita tidak mengetahuinya. Bila kita tidak mengetahui dalil apa-apa maka belajarlah, sementara kita belajar maka ikutilah salah satu pendapat umum yang kita yakini kebenarannya. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan karunianya kepada kita bersama dalam beribadah.
Saudara kaum muslimin, sebagai gambaran menyangkut pelaksanaan shalat Tarawih, di Masjid Haram Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah saat ini tetap dilaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat yang dilaksanakan dengan 2 rakaat 2 rakaat dan witir 3 rakaat (2 rakaat dan 1 rakaat). Hal ini mengacu kepada madzhab Hanafi yang tidak lain merupakan madzhab resmi kerajaan Arab Saudi. Pada malam-malam 10 terakhir Ramadan, mulai malam ke-20 di kedua masjid mulia itu juga dilaksanakan salat qiyamul lail yakni ditambah 10 rakaat plus 3 rakaat witir yang pelaksanaannya dimulai pukul 00.00 malam hingga masuk waktu imsak sehingga total berjumlah 33 rakaat. | Fitra Yadi / HN
Penulis: Fitra Yadi
Saudara kaum Muslimin. Ramadhan hampir habis, sekarang kita sudah berada pada 10 malam terakhir. Melihat fenomena pelaksanaan shalat Tarawih yang bermacam ragam di daerah kita. Ada satu mesjid yang shalat 8 rakaat dan ada pula yang shalat 20 rakaat. Dan ada lagi yang melaksanakan 8 rakaat dan 20 rakaat dalam satu masjid bersamaan, hal itu seperti yang terjadi di Masjid Kuno Bingkudu dan masjid Nurul Yaqin Labuang nagari Canduang Koto Laweh kecamatan Canduang kabupaten Agam Sumatera Barat. Dimana setelah 8 rakaat jama’ah berpisah menjadi dua bagian, imam yang pertama melanjutkan shalat sampai 20 rakaat dan tampil imam yang kedua memimpin jama’ah di sebelah kiri mesjid melaksanakan shalat witir.
Dalam pelaksanaan shalat tarawih ada yang melaksanakannya sebanyak 8 rakaat dengan 2 kali salam kemudian diiringi dengan shalat witir 3 rakaat sekali salam, jadi berjumlah sebelas rakaat. Ada lagi yang melaksanakannya 8 rakaat dengan empat kali salam (dua rakaat kemudian salam) setelah itu ditutup dengan witir dua rakaat kemudian ditambah satu rakaat, jadi berjumlah sebelas rakaat. Dan ada lagi yang melaksanakannya sebanyak 20 rakaat dengan dua rakaat kemudian salam setelah itu ditutup dengan witir dua rakat ditambah satu rakaat kemudian salam, jadi berjumlah dua puluh tiga rakaat.
Sehingga hal itu menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat berapakah bilangan shalat tarawih itu yang sesungguhnya?Apakah 8 atau 20 rakaat? Bagaimanakah cara pelaksanaannya? Apakah dua-dua rakaat atau empat-empat rakaat? Setelah melakukan shalat witir, apakah masih boleh melakukan shalat malam? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Hal diatas adalah salah satu bentuk furuiyah ikhtilafiyah yakni masalah sub cabang hukum Islam yang tidak pernah ketemu dalam titik kesepakatan ulama berdasarkan beragamnya dalil yang dipahami. Ini hanya masalah cabang saja, bukan masalah pokok, bukan masalah prinsipil beragama, tidak menjadi persoalan. Yang masalah prinsipil adalah semisal Aqidah dan Tauhid, bila sudah berbeda dalam aqidah, bila ketauhidan sudah kena semisal syirik, khurafat dan takhayyul meraja lela, ini baru menjadi persoalan.
Tidak tepat kiranya bila kita memperdebatkan hal demikian dan menjadikannya sebagai dasar untuk mengklaim kebenaran sepihak saja mengatakan ini yang benar dan itu yang salah. Sebaiknya hal ini kita jadikan saja sebagai khazanah-kekayaan ummat dalam melakukan ijtihad.
Hal aneh sering terjadi, logika terbalik sering mengemuka dimana orang lebih sibuk mempermasalahkan orang lain yang berbeda pelaksanaan shalat Tarawihnya dibanding orang yang tidak pernah ke masjid melaksanakan ibadah shalat Tarawih. Bukankah shalat itu dalam rangka menyembah Allah mengekspresikan kecintaan dan penghambaan kepada-Nya? Banyak-banyak beribadah adalah dalam rangka bertaqarrub mendekatkan diri kepada-Nya. Bila menurut kita teman salah dalam pelaksanaan ibadah sudah semestinya kita mempertanyakannya jangan buru-buru menyalahkan, bisa jadi ia berbeda dalam memahami dalil yang sama atau bisa jadi ia memahami dalil yang lain yang kita tidak mengetahuinya. Bila kita tidak mengetahui dalil apa-apa maka belajarlah, sementara kita belajar maka ikutilah salah satu pendapat umum yang kita yakini kebenarannya. Semoga Allah melimpahkan Rahmat dan karunianya kepada kita bersama dalam beribadah.
Saudara kaum muslimin, sebagai gambaran menyangkut pelaksanaan shalat Tarawih, di Masjid Haram Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah saat ini tetap dilaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat yang dilaksanakan dengan 2 rakaat 2 rakaat dan witir 3 rakaat (2 rakaat dan 1 rakaat). Hal ini mengacu kepada madzhab Hanafi yang tidak lain merupakan madzhab resmi kerajaan Arab Saudi. Pada malam-malam 10 terakhir Ramadan, mulai malam ke-20 di kedua masjid mulia itu juga dilaksanakan salat qiyamul lail yakni ditambah 10 rakaat plus 3 rakaat witir yang pelaksanaannya dimulai pukul 00.00 malam hingga masuk waktu imsak sehingga total berjumlah 33 rakaat. | Fitra Yadi / HN