TATA CARA DAN WAKTU PELAKSANAAN I’TIKAF

Rabu, 27 Ramadhan 1438 H / 21 Juni 2017
Penulis: Fitra Yadi

Saudara kaum Muslimin.  Sekarang kita sudah berada pada hari-hari terakhir Ramadhan. Pada 10 malam terakhir ini disunnahkan untuk beri’tikaf. Diantara rangkaian ibadah-ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang dangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan ) oleh Rasulullah SAW adalah i’tikaf. Setiap muslim dianjurkan (disunnatkan) untuk beri’tikaf di masjid, terutama pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan ini.

Apakah yang dimaksud dengan I’tiqaf? I’tikaf adalah berdiam diri atau tinggal di masjid dengan adab-adab tertentu, pada masa tertentu dengan niat ibadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT. baik pada waktu siang ataupun malam hari.

Apakah fadhilah I’tikaf? Fadhilah atau keutamaan I’tikaf diantaranya adalah sebagai sarana bertaqarrub (lebih mendekatkan diri) kepada Allah SWT.

Apakah hukum I’tikaf? I’tikaf hukumnya adalah sunnat terlebih-lebih lagi I’tikaf pada 10 hari terakhir Ramadhan tinggal. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. A’isyah, Ibnu Umar dan Anas ra meriwayatkan:

 “Adalah Rasulullah SAW beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ” HR. Bukhari & Muslim) Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, kecuali pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian halnya para shahabat dan istri beliau senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini.”

Imam Ahmad berkata: “ Sepengetahuan saya tak seorang pun ulama mengatakan i’tikaf bukan sunnat”.

Namun demikian, ada lagi I’tikaf yang hukumnya wajib, yaitu yang didahului dengan nadzar (janji), seperti: “Jikalau saya lulus dengan nilai tinggi, maka saya akan beri’tikaf”. Maka I’tikaf semacam ini, hukumnya wajib untuk dilakukan.

Apa saja syarat-rukun I’tikaf? Syarat-syaratnya adalah Mukallaf (Muslim baligh dan berakal) serta suci dari janabah (junub), haidh dan nifas. Orang kafir tidak syah I’tikafnya, demikian juga dengan anak yang belum mumaiyiz (mampu membedakan) serta orang gila. Laki-laki dan perempuan yang sedang junub (berhadas bersar) juga tidak boleh beri’tikaf. Seperti haid, nifas dan habis bersenggama. Sedangkan rukun I’tikaf adalah berniat dan berdiam diri di dalam masjid.

Dimanakah tempat beri’tikaf? Tempatnya adalah di masjid. Disini ada dua pendapat ulama tentang masjid tempat i’tikaf . Sebagian ulama membolehkan i’tikaf di setiap masjid yang dipakai shalat berjama’ah lima waktu. Hal itu dalam rangka menghindari seringnya keluar masjid dan untuk menjaga pelaksanaan shalat jama’ah setiap waktu. Ulama lain mensyaratkan agar i’tikaf itu dilaksanakan di masjid yang dipakai buat shalat jum’at, sehingga orang yang i’tikaf  tidak perlu meninggalkan tempat i’tikafnya menuju masjid lain untuk shalat jum’at. Pendapat ini dikuatkan oleh para ulama Syafi’iyah bahwa yang afdhal yaitu i’tikaf di masjid jami’, karena Rasulullah SAW i’tikaf di masjid jami’. Lebih afdhal di tiga masjid; masjid al-Haram, masjij Nabawi, dan masjid Aqsha.

Mushalla umum di negeri kita ini sebenarnya itu hakikatnya juga masjid. Devenisi masjid pada umumnya yang kita pahami aalah jika ada dilaksanakan shalat Jum’at di sana maka itu namanya masjid, namun walaupun tempatnya besar tetapi tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka itu tetap saja disebut mushalla. Pada hakikatnya itu sama yaitu masjid juga. Kita boleh memilih di masjid mana kita beri’tikaf, namun yang lebih afdhal adalah masjid Jami’ dan yang lebih besar dari itu seperti masjidil Haram di Mekkah.

Apa saja hal-hal yang disunnahkan waktu i’tikaf?  Disunnahkan agar orang yang i’tikaf memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT., seperti shalat, membaca al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW., do’a dan sebagainya. Termasuk juga di dalamnya pengajian, ceramah, ta’lim, diskusi ilmiah, tela’ah buku tafsir,
hadits, sirah dan sebagainya. Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama meninggalkan segala aktifitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

Apa saja hal-hal yang diperbolehkan bagi mu’takif (orang yang beri’tikaf) diantaranya adalah:
1.Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shafiyah ra. (HR. Riwayat Bukhari Muslim).
2.Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3.Keluar dari tempat keperluan yang harus dipenuhi, seperti membuang air besar dan kecil, makan, minum (jika tidak ada yang mengantarkannya), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluanya.
4.Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Apa saja hal-hal yang membatalkan I’tikaf? Diantaranya adalah:

1.Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2.Murtad (keluar dari Islam ).
3.Hilangnya akal, karena gila atau karena sebab yang lain.
4.Haidh, Nifas.
5.Junub (berhadas besar).

I’tikaf bagi Muslimah

Apakah boleh I’tikaf bagi perempuan? I’tkaf disunnahkan bagi wanita sebagaimana disunnahkan bagi pria. Selain syarat-syarat yang disebutkan tadi, i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat lain sbb:
1.Mendapat izin (ridha) suami atau orang tua. Hal itu disebabkan karena ketinggian hak suami bagi istri yang wajib ditaati, dan juga dalam rangka menghindari fitnah yang mungkin terjadi.
2.Agar tempat i’tikaf wanita memenuhi kriteria syari’at.
Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syarat i’tikaf adalah masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhal adalah shalat di rumahnya. Oleh karena bagi wanita tempat shalat dirumahnya lebih afdhal dari masjid wilayahnya. Dan masjid di wilayahnya lebih afdhal dari masjid raya.

Selain itu lebih seiring dengan tujuan umum syari’at Islamiyah, untuk menghindarkan wanita semaksimal mungkin dari tempat keramaian kaum pria, seperti tempat ibadah di masjid. Itulah sebabnya wanita tidak diwajibkan shalat jum’at dan shalat jama’ah di masjid. Dan seandainya ke masjid ia harus berada di belakang. Kalau demikian, maka i’tikaf yang justru membutuhkan waktu lama di masjid, seperti tidur, makan, minum, dan sebagainya lebih dipertimbangkan. Ini tidak berarti i’tikaf bagi wanita tidak diperboleh di masjid. Wanita bisa saja i’tikaf di masjid dan bahkan lebih afdhal apabila masjid tersebut menempel dengan rumahnya, jama’ahnya hanya wanita, terdapat tempat buang air dan kamar mandi khusus dan sebagainya. Wallahu ‘alam.

Kapankah waktu I’tikaf itu? Untuk I’tikaf wajib karena nadzar waktu pelaksanaannya tergantung pada beberapa lama yang dinadzarkan. Kalau tidak ada meniatkan lama waktunya maka boleh dilakukan kapan saja. Untuk I’tikaf sunnat tidak ada batasan waktunya, kapan saja boleh baik siang maupun malam hari. Bisa lama dan bisa juga sebentar. Bisa setengah hari, bisa diantara dua waktu shalat dan boleh juga lebih pendek dari itu.

Khusus i’tikaf Ramadhan mayoritas ulama (diantaranya empat imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat bahwa bagi orang yang ingin beri'tikaf di sepuluh malam akhir Ramadhan, maka dia masuk sebelum matahari terbenam di malam dua puluh satu. Mereka berdalil akan hal itu dengan beberapa dalil, diantaranya:

1.Telah ada ketetapan bahwa Nabi sallallahu’alihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Muttafaq’alaihi. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri'tikaf pada malam bukan pada siangnya. Karena sepuluh dibedakan pada malamnya. Allah ta’ala berfirman, “Dan demi malam sepuluh.” (QS. Al-Farj: 2) Dan sepuluh malam akhir dimulai pada malam keduapuluh satu. Dengan demikian, maka dia masuk ke masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu.
2.Mereka mengatakan, “Sesungguhnya diantara maksud terbesar dari I'tikaf adalah menggapai malam lailtul qadar, dan malam duapuluh satu termasuk malam ganjil pada sepuluh malam akhir. Jadi ada kemungkinan termasuk lailatul qadar. Maka seyogyanya ketika itu seseorang dalam kondisi beri'tikaf di dalamnya. Hal ini dikatakan oleh As-Sindy di Hasyiyah An-Nasa’i. Silahkan lihat Al-Mughni, 4/489. Akan tetapi diriwayatkan oleh Bukhari, no. 2041 dan Muslim, no. 173 dari Aisyah radhiallahu’anha berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

“Dahulu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam ketika ingin beri'tikaf, shalat fajar kemudian memasuki tempat i'tikafnya."

Sebagian ulama salaf berpendapat dari sisi zahir hadits ini. Bahwa dia masuk tempat i'tikafnya setelah shalat fajar. Pendapat ini dipakai oleh para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411 dan Syekh Ibnu Baz, 15/442. Akan tetapi mayoritas ulama menjawab hal itu dengan salah satu dari dua jawaban:


Pertama:
Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam biasanya beri'tikaf sebelum terbenam matahari akan tetapi tidak masuk ke tempat khusus beri'tikaf kecuali setelah shalat fajar. An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketika ingin beri'tikaf, shalat fajar kemudian masuk tempat I'tikafnya. Hal ini sebagai dalil bagi orang yang mengatakan, “Mulai I'tikaf dari awal siang. Dan ini adalah pendapat Auza’i, Tsauri, Laits dalam salah satu pendapatnya. Malik, Abu Hanifah, Syafi'i dan Ahmad berpendapat, ‘Masuk (ke tempat I'tikafnya) sebelum matahari terbenam. Dan setelah itu meyendiri. Mereka mentakwilkan hadits, bahwa beliau masuk ke tempat I'tikaf, dan diputuskan di dalamnya ketika ingin beri'tikaf sebulan atau beri'tikaf sepuluh (hari). Sementara shalat subuhnya, hal itu bukan memulai waktu I'tikaf, bahkan (dimulainya) sebelum magrib sudah dalam kondisi beri'tikaf di dalam masjid. Ketika selesai shalat subuh, dia menyendiri.”

Al-Qodhi Abu Ya’la dari Hambali menjawabnya dengan menafsirkan hadits bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melakukan hal itu pada hari keduapuluh. As-Sindi mengatakan, “Jawaban ini yang bermanfaat dari sisi pandangan dan lebih utama untuk dijadikan patokan.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya dalam ‘Fatawa As-Siyam hal, 501: ‘Kapan mulai I'tikaf?" Beliau menjawab, “Mayoritas ahli ilmu berpendapat bahwa mulai i'tikaf sejak malam keduapuluh satu, bukan dari fajar keduapuluh satu. Meskipun sebagian ulama berpendapat, bahwa mulai i'tikaf dari fajar keduapuluh satu. Berdasarkan dalil hadits Aisyah radhiallahu’anha di Bukhari, “Ketika (Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam) shalat subuh, beliau masuk ke tempat i'tikafnya”. Akan tetapi Jumhur menjawabnya bahwa hal itu adalah saat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam menyendiri dari orang-orang adalah sejak pagi. Sementara niat i'tikafnya dari awal malam. Karena sepuluh malam akhir itu dimulai sejak terbenamnya matahari di hari keduapuluh.”

Beliau juga mengatakan di hal, 503: “Orang yang beri'tikaf masuk di sepuluh malam akhir ketika terbenam matahari dari malam keduapuluh satu. Hal itu karena telah memasuki waktu sepuluh akhir. Hal ini tidak bertentangan dengan hadits Aisyah radhiallahu ’anha karena teksnya berbeda. Maka diambil yang lebih dekat dari sisi petunjuk (madlul) bahasa. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, 2041.

Dari Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,

 كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ وَإِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ دَخَلَ مَكَانَهُ الَّذِي اعْتَكَفَ فِيهِ

 “Dahulu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam beri'tikaf pada setiap Ramadan. Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri'tikaf.”

Perkataan ‘Ketika shalat subuh, beliau masuk ke tempat beliau beri'tikaf.” Hal ini mengandung pemahaan bahwa beliau lebih dahulu berdiam, sebelum masuk ke dalamnya. Maksudnya berdiam di masjid lebih dahulu daripada masuk ke tempat I'tikafnya. Karena perkataan ‘I’takafa’ adalah fiil madhi (kata kerja masa lampau). Maka asalnya (sebuah kata) digunakan sesuai hakekatnya.”

Kedua,
Adapun masalah selesainya, maka i'tikaf selesai ketika matahari terbenam di akhir hari bulan Ramadan. Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, ‘Kapan orang beri'tikaf keluar dari I'tikafnya? Apakah keluar setelah terbenam matahari di malam hari raya atau setelah fajar hari raya?

Maka beliau menjawabnya, “Orang beri'tikaf keluar dari i'tikafnya ketika Ramadan selesai. Dan selesainya bulan Ramadan sejak matahari terbenam di malam hari raya.” (Fatawa As-Siyam, hal. 502)

Terdapat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/411: “Waktu I'tikaf sepuluh Ramadan selesai dengan terbenamnya matahari di akhir hari Ramadan.”

Kalau dia memilih tetap di tempatnya sampai shalat fajar dan keluar dari tempat i'tikafnya menuju shalat Ied juga tidak mengapa. Sebagian ulama salaf menganjurkan hal itu. Imam Malik rahimahullah mengatakan, “Bahwa beliau melihat sebagian ahli ilmu, ketika mereka beri'tikaf pada sepuluh malam akhir Ramadan. Mereka tidak pulang ke keluarganya. Malik mengatakan, “Hal itu disampaikan kepadaku dari orang baik yang telah melakukannya. Hal ini lebih aku sukai dari apa yang aku dengar. Agar mereka dapat menyaksikan hari raya Idul Fitri bersama masyarakat.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al-Majmu’, 6/323: “Syafi'i dan pengikutnya mengatakan, “Bagi orang yang ingin mencontoh Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam beri'tikaf di sepuluh malam akhir Ramadan, hendaknya dia masuk masjid sebelum matahari terbenam malam keduapuluh satu, agar tidak terlewatkan sedikitpun. Dan keluar setelah matahari terbenam di malam hari raya. Baik bulan sempurna atau kurang. Yang lebih utama adalah berdiam diri malam hari raya di dalam masjid sampai melaksanakan shalat Id, atau keluar ke mushalla tempat  shalat Id, jika mereka shalat di lapangan shalat id. Kalau dia keluar dari i'tikaf langsung ke shalat Id, maka dianjurkan mandi dan berhias sebelum keluar. Karena hal ini termasuk sunah dalam hari raya. | Fitra Yadi / HN
Lebih baru Lebih lama