Beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan Isu Kudeta terhadap Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, Putera Sulung dari Presiden Ke-Enam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Konflik Internal Partai Demokrat ini bermula ketika sejumlah kader yang merasa kecewa dengan kepemimpinan AHY memutuskan untuk melangsungkan Kongres Luar Biasa (KLB) guna memutuskan pergantian tampuk Kepemimpinan Partai berlogo Mercy itu. Sontak saja pihak AHY bereaksi keras.
Sejumlah pihak yang meragukan kepemimpinan AHY menilai AHY bukanlah figur yang cocok untuk memimpin Demokrat, selain karena dianggap kurang berpengalaman, AHY disebut tidak memiliki prestasi politik gemilang yang membuatnya pantas menduduki posisi Ketua Umum Partai Demokrat. KLB sendiri tetap dilaksanakan di Deli Serdang, Sumatera Utara pada 5 Maret 2021 kemarin. Hasilnya Moeldoko terpilih sebagai Ketum Demokrat Baru (Periode 2021-2025) melalui KLB mengalahkan Marzuki Alie yang juga dicalonkan dalam kongres.
Yang cukup membuat publik tanah air terperangah dari Perseteruan ini adalah, adanya dugaan keterlibatan Jenderal Purn.TNI Moeldoko, Pejabat Pemerintahan yang Saat ini menduduki posisi Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dalam upaya Pendongkelan AHY dari posisi puncuk Partai Demokrat. Moeldoko sendiri tak lain merupakan “Tangan kanan” yang menjadi orang kepercayaan Presiden Joko Widodo. Konflik ini semakin meruncing ketika Demokrat kubu AHY menyerang sejumlah pihak, termasuk menyebut pemerintah membiarkan (Merestui) aksi kudeta yang dilakukan oleh orang terdekat Presiden itu.
Tentu saja Pemerintah menepis tudingan tersebut. Manuver yang dilakukan Kepala KSP, Moeldoko, dinilai sama sekali tidak merepresentasikan Pemerintah maupun Presiden. Menurut Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD, Apa yang terjadi saat ini merupakan murni konflik Internal Partai Demokrat, sehingga pemerintah tidak punya kewenangan melarang para kader Demokrat untuk melangsungkan KLB. Sebab bertentangan dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Menurut Mahfud, hal seperti ini pernah terjadi di Era-Presiden SBY, dimana PKB yang saat itu dipimpin Gus Dur terbelah, saat itu Pemerintah SBY sendiri tidak bisa berbuat banyak, bahkan tidak bisa melarang berlangsungnya KLB PKB kala itu.
Kini, Partai Biru berlogo Mercy yang identik dengan slogan “Katakan Tidak Pada Korupsi!” itu tengah terbelah menjadi dua. Kedua kubu, yakni Kubu Moeldoko dan Kubu AHY, Masing-masing saling ngotot mempertahankan argumennya. Kubu Moeldoko menganggap proses KLB telah sah dan sesuai dengan AD/ART Partai Demokrat tahun 2005, Sementara kubu AHY mengatakan bahwa KLB itu illegal karena tidak sesuai dengan AD/ART tahun 2020 yang sah dan terdaftar di Kemenkumham. Seolah saling berbalas pantun, kedua kubu saling melempar tuduhan dan menganggap mereka adalah pihak yang benar. Tentu cukup menarik untuk sama-sama kita saksikan, bagaimana kelanjutan Konflik para petinggi partai politik tersebut.
Jika kita melihat kilas balik sejarah beberapa waktu silam, Sebetulnya friksi internal yang menimpa Partai Demokrat saat ini pernah terjadi juga pada sejumlah Partai Politik Tanah Air. Seperti PKB, Golkar hingga PDI. Berikut adalah daftar Partai Politik Indonesia yang pernah terbelah akibat mengalami konflik internal Seperti Partai Demokrat..
• Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Juli 1996:
Sebelum menjadi partai yang kita kenal saat ini, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pernah mengalami lika-liku yang amat berat, Saat itu Megawati Soekarnoputeri yang merupakan Ketum PDI di dongkel dari Pucuk Kepemimpinan melalui KLB Medan 22 Juni 1996. Pemerintah Orde Baru diyakini terlibat dalam konflik ini. Alhasil PDI terbelah mejadi dua kubu, yakni Kubu Soerjadi yang ditunjuk melalui KLB Medan versus Kubu Megawati yang merupakan Ketua Umum Sah PDI.
Konflik partai ini bahkan sampai menjadi konflik pertumpahan darah antara kedua kubu, Kerusuhan antar keduanya pecah pada 27 Juli 1996. Namun siapa sangka, setelah sebelumnya berada di ujung tanduk, dukungan justru mengalir deras untuk Megawati. Namanya semakin melambung, bahkan berhasil menjadi Wakil Presiden mendampingi Gus Dur saat itu. Konflik ini berakhir dengan kandasnya PDI kubu Soerjadi. PDI pun berganti menjadi PDI-P dibawah komando Megawati Soekarnoputeri hingga saat ini.
• Partai Kebangkitan Bangsa (PKB):
Partai yang didirikan Tokoh tokoh Nahdliyin ini pernah mengalami konflik internal. Konflik internal PKB sendiri terjadi di tahun 2008, konflik itu muncul tak terlepas dari perseteruan panas antara K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat itu menjabat sebagai Dewan Syuro PKB, dengan Ketua Dewan Tahfidz PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), yang tak lain merupakan keponakannya.
Gus Dur saat itu memecat Muhaimin dari posisinya. Karena tak terima dengan pemecatan tersebut, Muhaimin melangsungkan Musyawarah Luar Biasa di Parung Bogor pada 30 April-01Mei 2008. Hasilnya, Gus Dur justru lengser dan Tampuk Kepemimpinan Partai jatuh ketangan Muhaimin Iskandar. Konflik ini berakhir dengan disahkannya PKB kepengurusan Muhaimin Iskandar oleh Pemerintah saat itu.
• Partai Golongan Karya (Golkar):
Partai berlambang Pohon beringin yang berkuasa di era Orde Baru itu telah beberapa kali mengalami konflik Internal pasca Reformasi. Pada Munas 1998, Golkar kemudian pecah dan melahirkan dua partai, yakni Partai Karya peduli Bangsa dan Partai Keadilan dan Persatuan (Sekarang PKPI). Pada Munas 2004 dan 2009, Golkar kembali pecah menjadi beberapa partai, yakni Gerindra yang didirikan oleh Parbowo Subianto, Hanura yang didirikan Wiranto dan NasDem yang didirikan oleh Surya Paloh.
Konflik berlanjut hingga di tahun 2014, antara Ketua Umum Aburizal Bakrie yang dipilih melalui Munas Nusa Dua, Bali dan Ketua Umum Agung Laksono yang dipilih melalui Munas Jakarta. Perseteruan ini berakhir saat Pemerintah mengesahkan Golkar Kepengurusan Agung Laksono.
• Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura):
Konflik yang menimpa Partai Hanura terjadi akibat adanya dualisme antara Kepemimpinan Oesman Sapta Odang (OSO) dengan Kepemimpinan Daryatmo. Melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa, Akhirnya Osman Sapta Odang dipecat oleh Kubu Sekjend Sarifudin Sudding. Munaslub yang berlangsung diklaim mendapat restu Wiranto.
Perseteruan kemudian berlanjut antara Oso dan Wiranto. Kubu Wiranto menolak mengakui OSO sebagai Ketua Umum Hanura yang terpilih secara aklamasi dalam Musyawarah Nasional III Partai Hanura pada 18 Desember 2019. Namun akhirnya Wiranto pun memutuskan mundur sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Hanura karena ingin fokus pada tugas baru sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden.
• Partai Persatuan Pembangunan (PPP):
Konflik bermula dari perseteruan antara Surya Dharma Ali (SDA) yang saat itu menjadi Ketum PPP dengan Romahurmuziy yang saling bersilang pandang terkait arah dukungan Partai. Saat itu SDA ingin PPP menjadi oposisi, sementara Romahurmuziy ingin PPP bergabung bersama Pemerintah. Karena terlilit kasus dana haji, SDA pun menunjuk Djan Faridz untuk menggelar Mukhtamar tandingan di Jakarta, setelah sebelumnya Kubu Romahurmuziy (Romi) menggelar Mukhtamar di Surabaya yang memenangkan kepengurusan Romahurmuziy. Kubu Djan yang menggugat kemudian di menangkan, namun konflik akhirnya berakhir dengan bergabungnya PPP Kedalam Partai Koalisi Pemerintah.
• Partai Berkarya :
Partai yang dibentuk oleh Tommy Soeharto ini harus menghadapi konflik internal pada usia partai yang masih seumur jagung. Konflik bermula dari perseteruan Tommy Soeharto dengan Muchdi Pr, Kubu Muchdi menggelar Musyawarah Nasional pada Juli 2020 di Jakarta yang hasilnya memenangkan Muchdi Pr. Pemerintah mengesahkan kepengurusan Muchdi Pr. melalui surat keputusan Nomor M.HH-17.AH.11.01 Tahun 2020 yang dikeluarkan Kemenkumham.
Tidak terima dengan hasil yang ada, Tommy Soeharto lantas menggugat putusan tersebut ke PTUN. Hasilnya PTUN memenangkan kepengurusan Tommy Soeharto.
Berkaca dari perseteruan panas sejumlah Partai Politik tanah air tersebut, tentunya kita semua sebagai masyarakat awam berharap agar Segala konflik yang terjadi tidak sampai mengganggu stabilitas nasional, Tentu saja konflik merupakan sebuah keniscayaan, Mustahil tidak ada konflik yang mengiringi lika-liku hidup anak manusia. Namun tentu kita perlu mencegah Konflik yang terjadi supaya tidak memburuk dan membuat bangsa kita terpecah. Pemerintah harus menjadi penengah yang adil dalam mengawal konflik dan perseteruan yang terjadi. Hukum harus ditegakkan dengan adil, sebab kita merupakan negara Hukum yang menjadikan Hukum sebagai Panglima Tertinggi di bumi pertiwi.
Para Tokoh Politik, baik yang ada dalam Pemerintahan maupun di luar pemerintahan, beserta Petinggi Partai Politik harus dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakat. Sehingga para tokoh politik perlu menahan diri dari tindakan-tindakan yang dapat merusak rasa persatuan dan kerukunan bersama.
Mari kita percayakan penyelesaian konflik yang ada pada Pemerintah dan Hukum yang berlaku. Semoga konflik seperti yang terjadi pada Partai Demokrat tidak terulang kembali di kemudian waktu. *Yse