PERINGATI PERISTIWA BURAI-BURAI HINGGA DURIAN GADANG DIBUMIHANGUSKAN BELANDA, RATUSAN PEMUDA MELAKUKAN TAPTU

Ahad, 18 Agustus 2019 M - 18 Dzulhijjah 1440 H

Limapuluh Kota - HN, Memperingati gugurnya beberapa orang pejuang dari Front perjuangan Akabiluru tahun 1949, ratusan pemuda Karang Taruna Durian Gadang melakukan TAPTU pada Jum'at malam (16/08/2019) di nagari Durian Gadang kecamatan Akabiluru kabupaten Limapuluhkota Sumatera Barat.

"Kepada masyarakat yang rumahnya di tepi jalan mohon matikan lampu, karena kita akan mulai acara api obor sekarang, pemuda-pemudi anggota Karangtaruna segera berkumpul di Simpang Tiga, nyalakan obornya kita akan segera memulai acara Taptu" demikian terdengar pengumuman di pengeras suara kantor wali nagari Durian Gadang bakda 'Isya Jum'at malam (16/08/2019) itu.

Para peserta Taptu yang terdiri dari pemuda-pemudi anggota Karang Taruna beserta beberapa orang tokoh masyarakat membawa api obor sambil menyanyikan lagu nasional "Hari Merdeka 17 Agustus 1945" berjalan menuju Tanjuang Mutiara, jorong Baringin, nagari Durian Gadang tempat dimakamkan 4 orang pejuang dari Front perjuangan Akabiluru itu. Mereka gugur dalam peristiwa Penyergapan Tentara Belanda yang terjadi pada hari Sabtu, 3 Februari 1949 di Burai-burai dekat pintu gerbang Kota Payakumbuh (sekarang Objek Wisata Bukit Kelinci).

Dikutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Taptu memiliki 2 arti yaitu berarti tanda (dengan bunyi terompet dan sebagainya) pada malam hari untuk memanggil prajurit supaya pulang ke asramanya dan berarti juga berbaris dengan menggunakan irama musik pada malam hari sambil membawa obor.

Seketika lampu jalan dan rumah-rumah di tepi jalan mati, suasana berubah gelap seperti semasa zaman bergolak dulu, namun kemudian segera datang peserta pawai api obor membawa cahaya, melaksanakan Taptu dengan derap langkah bergemuruh sambil menyanyikan lagu " Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita. Hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka, selama hayat masih di kandung badan. Kita tetap setia tetap sedia, mempertahankan Indonesia. Kita tetap setia tetap sedia, membela negara kita." 5 menit kemudian sampailah di lokasi pemakaman menyanyikan lagu "Indonesia Raya" kemudian dilanjutkan dengan lagu "Gugur Bunga" setelah itu sambutan dari wali nagari dan tokoh masyarakat, terakhir ditutup dengan do'a.

Dalam sambutannya wali nagari Durian Gadang Nanda, S menyampaikan "Pahlawan kita yang berempat orang ini, semoga diampunkan oleh Allah Swt. dosa-dosanya. Mereka gugur ketika penyergapan tentara Belanda yang datang dari Bukittinggi melakukan pelantikan pejabat baru di Payakumbuh. Ketika itu nagari Durian Gadang menjadi basis perjuangan yang dibuktikan dengan banyaknya pengungsi ketika itu yang menetap di Durian Gadang sampai saat kini. Peristiwa penyergapan salah satu petinggi Belanda yang datang untuk dilantik di Payakumbuh itu berbuntut gugurnya para pejuang dan dibumihanguskannya nagari Durian Gadang hingga sekarang tidak ada lagi kita menemukan rumah Gadang di nagari ini, karena semuanya sudah terbakar, sebenarnya ada satu rumah Gadang yang tidak terbakar dan itupun sekarang sudah habis dimakan masa. Kepada yang muda-muda sekedar mengingatkan; inilah makam pahlawan yang berempat itu." katanya panjang lebar.

Dalam sambutannya mewakili masyarakat Abi Ikhwan Hakim memberi semangat kepada para pemuda dengan mengumandangkan kalimat "Merdeka" dan "Takbir" masing-masing tiga kali. Ia berharap "semoga para pemuda bisa meneladani para pahlawan ini dalam membela bangsa dan agama. Untuk kedepan kita harapkan untuk Taptu ini bisa hadir lebih banyak lagi dari lapisan masyarakat, baik niniak-mamak, tokoh-tokoh masyarakat dan lainnya."

Dikutip dari catatan Saiful. SP, Kabag TU, Humas dan Protokoler DPRD Limapuluh Kota dengan judul PERJUANGAN MASYARAKAT NAGARI DURIAN GADANG DIMASA PDRI yang diposting di lamannya pada 12 April 2014 menceritakan kronologis peristiwa gugurnya 4 orang Pejuang itu hingga nagari Durian Gadang menjadi lautan api. Catatan itu bersumber dari buku “Masyarakat Durian gadang dalam Perjuangan dan Pembangunan Desanya" yang ditulis oleh Ansyar Suhaimi tahun 1995.

Peristiwa Gugurnya 4 orang Pemuda
"Pada senja hari Jum’at 2 Februari 1949 berangkatlah 16 orang pejuang ke perbatasan Limapuluh Kota dengan Agam, dikenal Labuah Sampik atau dekat dari bendungan PLTA Batang Agam sekarang, dengan komandan Durin Engku Nan Elok. Kepergian mereka ditugasi oleh wali perang Durian Gadang untuk mencegat pasukan Belanda yang akan lewat di jalan raya tersebut."

"Sebelumnya pasukan kita telah mendapat informasi bahwa besok Sabtu di Payakumbuh akan diadakan acara timbang terima komandan. Yang mereka tunggu belum juga muncul, maka mereka merubah posisi, pindah ke tempat yang strategis lainnya. Yaitu ke Burai-burai, dekat pintu gerbang Kota Payakumbuh sekarang, lebih kurang 2 Km dari stasiun Kereta Api Piladang arah Payakumbuh."

"Tatkala hari sudah menunjukkan pukul 7.00 Wib. pagi Sabtu, perut anggota pasukan kita sudah banyak yang lapar, sedang musuh yang mau dicegat tak kunjung lewat jua, diputuskanlah bahwa sebahagian kembali pulang untuk makan. Lima orangnya tetap tinggal menunggu Belanda dengan tekad mau menghancurkan si kafir itu, walau perut hanya diisi sekedar penangkal lapar. Mereka yang lima orang itu adalah Durin Engku Nan Elok, Mansur, Karani, Karana dan Jamaran."

"Sekitar jam 9.00 Wib. apa yang mereka nantikan dari kemaren sorepun muncul, tiga buah kendaraan meliter Belanda beriringan melaju menuju arah Payakumbuh. Dimuka mobil jeep, ditengah mobil sedan dan dibelakangnya sebuah truk yang penuh dengan tentara Belanda. Melihat musuh sudah dekat, Durin Engku Nan Elok bersama pasukan mengambil posisi ke ujung bukit yang menjorok ke jalan raya itu."

"Setelah mobil yang beriringan itu sampai dihadapkan mereka yang mana jarak antara pejuang dengan mobil dibawah mereka sekitar 12 meter, hanya dibatasi belukar hilalang. Para pejuang dengan serentak melemparkan masing-masing granat yang ada ditangannya kearah truk dengan ucapan Allahuakbar. Dengan pertolongan Allah, pejuang kita berhasil, granat mereka mengenai dan membakar truk musuh. Mendengar adanya letusan dibelakang, mobil jeep terus berlari dengan kencangnya, sedangkan mobil sedan berhenti dan salah seorang penumpangnya turun. Bersamaan dengan itu pula para pejuang mengarahkan tembakan karabennya kesana. Karena melihat situasinya begitu gawat barangkali, sopir sedan tancap gas melarikan mobilnya dengan meninggalkan penumpang yang turun, yang sudah ikut pula bertempur bersama tentara yang ada didalam truk. Dalam pertempuran singkat ini, antara ±20 menit, semua tentara musuh dapat dimusnahkan, termasuk penumpang dari mobil sedan tadi, yang jumlahnya lebih kurang 20 orang."

"Ketika melihat musuh tidak berkutik lagi, Durin Engku Nan Elok bersama temannya berlompatan turun kejalan mempereteli semua senjata dan peralatan musuh. Ditengah kegembiraan atas kemenangan tersebut pejuang kita lupa dan lalai dengan keadaan. Sekonyong-konyong tanpa disadari mereka muncullah bantuan Belanda dari Payakumbuh dengan beberapa buah mobil. Para pejuang dihujani dengan peluru dari senapan mesin. Untuk menyelamatkan diri tidak sempat lagi, hanya Jamaranlah yang sempat melompat melarikan diri dari kejaran Belanda, walaupun sudah menderita luka-luka. Sesampai di Durian Gadang diceritakanlah oleh Jamaran kepada teman-temannya dan kepada penduduk atas apa yang sudah terjadi. Durian Gadang jadi geger dengan penuh kecemasan akan apa yang mungkin dialami oleh teman-teman Jamaran di Burai-burai. Semua anggota laskar yang ada, serta pemuda, berangkatlah pergi untuk membantu/ melihat ketempat kejadian."

"Namun rombongan orang banyak ini tidak dapat mendekat kelokasi pertempuran tadi, karena pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap dan modern masih berada ditempat tersebut. Setelah hari mulai gelap (malam) Belanda baru meninggalkan tempat itu dan pejuang, pemuda dan masyarakat lainnya menyusul kesitu. Ditemuilah Durin Engku Nan Elok, Karana, Karani dan Mansur sudah menjadi mati syahid. Jenazah mereka sudah hancur dirusak kekejaman Belanda."

"Para pejuang kita diangkat dan digotong bersama-sama dengan rasa sedih bercampur takut, rasa-rasa akan datang juga musuh dari belakang. Sementara itu ibu-ibu, anak-anak, orang tua-tua menunggu dengan penuh kebisuan yang mencekam. Pada malam itu juga para korban dimakam di Durian Gadang. Tempat makam mereka sampai sekarang terkenal dengan Makam Pejuang Nan Barampek. Tanjung tempat lokasi makam itu semenjak hari tersebut disebut “Tanjung Mutiara”. Siapa yang memberi nama Tanjung Mutiara, tiada jelas sampai sekarang."

"Mulai malam petang Sabtu itu sampai berminggu-minggu kemudian, Durian Gadang diliputi kesedihan. Empat pemuda Durian Gadang telah tiada, mereka telah memberikan jiwa dan raganya buat Bangsa dan Agama demi Indonesia Merdeka."

"Sementara di Payakumbuh mulai hari Minggu 4 Februari 1949 itu bendera Belanda dinaikkan setengah tiang sampai tanggal 10 Februari. Hal ini penumpang yang ada dalam mobil sedan yang terbunuh di Burai-burai adalah perwira Belanda berpangkat mayor yang akan memangku jabatan komandan di Payakumbuh."

Durian Gadang di serang di Pagi Buta
"Tiga hari setelah peristiwa Burai-burai, yaitu korbannya 4 orang pemuda pejuang dalam penghadangan Belanda di Burai-burai, tepatnya hari Selasa tanggal 6 Februari 1949. Pagi-pagi sekitar jam 4.30 WIB dalam perjalanan seorang nenek (Urai), yaitu ibu dari Sa’ah suku Mandailing, entah tujuan beliau mau kekincir penumbuk padi, entah mau kesawah. Di Tobiang, yaitu berjarak sekitar 300  meter dari perumahan penduduk menuju arah ke Piladang. Beliau berjumpa dengan sepasukan tentara (Belanda). Dari perjumpaan itu terjadilah perlawanan seorang nenek tua dengan tentara Belanda:

Belanda: “Angkat tangan, mana tentara, mana laki-laki ayo, tunjukkan …!”
Nenek  : “Ampun tuan … tabik tuan … , tidak tau tuan …”
Belanda: “Ayo, tunjukkan dimana tentara, kalau tidak kami tembak”
Nenek  : “Ampun tuan ... tidak tau tuan …”
Belanda: “Ayo … tunjukkan …”

"Bentakan-bentakan Belanda dan jawaban sang nenek Urai tersebut kedengaran oleh M.Nur Dt. Sumua bersama teman-teman dari pondok ronda. Pondok ronda tersebut hanya berjarak beberapa piring/petak sawah dari tempat kejadian, persis di kebun kelapa Rasi’ah. Mendengar hal tersebut, M. Nur Dt. Sumua dan teman-teman berlarian masuk kampung untuk memberitahu penduduk bahwa Belanda sudah masuk kedesa kita. Beduk dan tong-tong dipukuli, pertanda musuh memasuki nagari."

"Oleh karena sangat terkejut dengan bunyi beduk dan  tong-tong, penduduk bangun dan berhamburan keluar rumah, walau hari masih remang-remang. Masing-masing berlarian menyelamatkan diri tak tentu arah. Namun semua sudah terlambat. Durian Gadang sudah dikepung tentara Belanda dari segala penjuru, kecuali dari arah tenggara (Paini). Sedang diarah yang lain Belanda dapat melepaskan dendam amarahnya, musuh main tembak saja dengan siapa yang dijumpai, tak peduli perempuan atau anak-anak dan orang tua. Hanya dipendakian samping kolam (tebat) Anab yang memberikan perlawanan dari lasykar, tapi tidak seimbang. Walaupun begitu 2 (dua) orang Belanda dapat juga dihabisi nyawanya ditempat itu. Setelah situasi aman, setelah musuh pergi dari Durian Gadang, dikumpulkanlah semua korban dipihak kita. Semua berjumlah 32 orang, 27 orang warga Durian Gadang dan 5 orang dari pengungsi. Korban di pihak Belanda, langsung dibawa pasukannya."

"27 orang Nama warga Nagari durian Gadang yang menjadi korban: 1.Supi (40), 2.Roslina (1), 3.Asma (16), 4.Nurilan (30), 5. ,Zainal/inan (50), 6. Nawi 20), 7. Jaman(21), 8.Ma’i (20), 9. Malin Parmato (55), 10. Muncak amat (67), 11.Murah (25), 12.Radiah (25), 13. Sahar (18), 14. Ramaini (35), 15.Wahid (60), 16. Dt. Maruhun (70), 17.Engku Bagindo Sahar (35), 18.Nasar (14),  19.Urai (60),  20.Aib Gudam (63), 21. Anak Nurilan (1),  22. H.Jamarin (30) dan lima orang tidak tercatat namanya."

"Sementara Lima korban dari orang yang mengungsi ke Nagari Durian Gadang asal Tabek Patah  adalah : 1.Guru Adam (60), 2. Adik guru Adam , Sahar  bersama anak asuhnya dan Ajo asal pariaman."

Durian Gadang Jadi Lautan Api

"Pada tanggal 2 Maret 1949, diadakanlah pencegatan Belanda di Tanjuang Karambia, beberapa ratus meter dari Simpang Batuhampar kearah Bukittinggi penghadangan ini langsung dipimpin dan dilaksanakan oleh tentara kita, masyarakat menyebut tentara Jamhur (Tentara yang komandannya bernama Jamhur)."

"Dalam pertempuran di Tanjuang Karambia ini, pasukan kita kalah bertarung dala adu senjata. Hingga jatuh 2 orang korban, yaitu: Tamir dan Amir Kamal dari Piladang. Pasukan Jamhur mundur arah ke Kota Tengah, terus ke Sei Cubadak, Tambak, Guguk Panjang dan terus ke Durian Gadang. Akan tetapi, mundurnya pasukan kita tidaklah dibiarkan saja oleh musuh, pasukan Jamhur dikejar terus dan sambil mundurpun pasukan kita tetap mengadakan perlawanan sambil mengatur strategi. Hingga sampai di Tambak dan Guguk Panjang pertempuran berulang kembali, sampai dua jam pasukan kita bertahan disini. Akhirnya musuh tidak juga dapat dikalahkan. Sampai jam 2 siang (jam 14.00) pasukan Belanda sampai di desa Durian Gadang dalam pengejarannya."

"Sampai di Durian Gadang, jangankan tentara/lasykar yang dijumpai, laki-lakipun tidak ada,semua sudah menghilang. Yang tinggal dan dijumpai Belanda hanya wanita dan anak-anak saja. Maka untuk pelampiaskan amarahnya, Belanda membumi hangsukan Durian Gadang. Rumah-rumah, lumbung padi, semua dibakarnya. Selesai pembakaran itu, barulah Belanda pergi ke Payakumbuh. Jumlah rumah yang dibakar Belanda adalah: 85 (delapan puluh lima) buah rumah besar dan kecil, diantaranya 31 rumah gadang, 49 rumah biasa, 1 kedai dan 4 gubuk. Dan sebanyak 125 (seratus dua puluh lima) buah lumbung padi, semuanya itu terbakar bersama isinya. Ditambah beberapa ekor ternak, yang juga terbakar dan ditembaki. Tidak ada yang menghitung dengan harga uang, berapa nilai kerugian. Namun sungguh banyak, lagi pula waktu itu  baru musim panan padi semua lumbung sedang penuh berisi padi."

"Sehabis kejadian ini, yang hanya dalam tempo satu setengah bulan tiga (3) kejadian beruntun dialami oleh penduduk Durian Gadang, rakyat semua menjadi lesu, tiada berdaya lagi. Semua jatuh dalam kesedihan dan kesengsaraan yang tiada taranya, demi menegakkan dan mempertahankan Proklamasi Republik Indonesia tercinta. Semuanya telah mereka korbankan. Setelah kejadian ini pulalah, atas pertimbangan keamanan, makanya markas (pusat) Front perjuangan Akabiluru dipindahkan ke Sarik Lawas." *Fitra Yadi - HN
Lebih baru Lebih lama