PARADOKS MUSLIM - IBU IRA

Senin, 19 Agustus 2019 M - 18 Dzulhijjah 1440 H
Oleh: Gusti Ananda

Ibu Ira berlari mendekati sang suami dengan menggendong Danu dan ia sampai kedekat sang suami dengan nafas yang terengah – engah, “ kenapa abang menjauh dari aku ? ‘ ujar ibu Ira sambil mendudukkan Danu diatas sepeda motor dibelakang ayahnya, “ kita jangan bicara disini, kita cari tempat lain untuk bicara “ ujar suaminya dengan masih mencoba menghidupkan motornya, ibu Ira meng “ iya kan “ dan motor suaminya pun bisa hidup ketika ibu Ira terlihat lengah sang suami menggas motornya hingga Danu yang duduk diatas motor tersebut nyaris jatuh dan cepat ditangkap oleh ibu Ira yang menyaksikan suaminya kabur dengan perasaan hancur dan pastinya malu ditonton oleh para siswa SMP tersebut yang baru saja istirahat jam pelajaran sekolah.
 
Ibu Ira begitu dia biasa dipanggil oleh orang – orang dekatnya, usianya sudah diatas enam puluh tahun tapi raut wajahnya masih memancarkan kecantikan dimasa mudanya, ibu Ira memiliki tiga orang putra Bimo yang tertua, Dika yang nomor dua, dan danu putra bungsunya. Ibu Ira adalah anak kedua dari sembilan orang bersaudara namun diantar saudara – saudaranya ibu Ira mungkin yang paling tidak beruntung dalam masalah rumah tangga dan ekonomi.

Ibu Ira pernah mendekam dalam penjara selama dua tahunan karena terlilit hutang entah untuk apa, akan tetapi ibu Ira menanggung semua tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh sang suami namun karena ada perjanjian antara ibu Ira dengan sang suami bahwa demi menyelamatkan anak – anak maka ibu Ira lah yang akan menanggung segala resiko hutang tersebut sehingga ibu Ira menerima hukuman penjara. Hal itu terjadi ketika ibu Ira berusia sekitar 30 tahunan.

Keluarga ibu Ira pun mulai menggunjingkan kelakuan ibu Ira yang berhutang hingga masuk penjara dengan berbagai macam cerita, “ dia mau berlagak sok kaya pada hal susah, dia itu tidak benar dalam hidupnya kasihan dengan suaminya yang baik “ , kasihan sekali ibu Ira disaat dia membutuhkan dukungan keluarga yang terjadi keluarganya sendiri malah memberikan tekanan yang luar biasa, akan tetapi ibu Ira adalah seorang wanita yang berkarakter kuat dan mampu melewati tiu semua dengan senyumnya.

Duka ibu Ira sungguh luar biasa bertubi – tubi datangnya, anak – anaknya pun kini terpisah jauh dibawa oleh saudara – saudaranya, sementara sang suami entah bagai mana seperti lupa dengan janjinya yang akan menjaga anak – anaknya, sementara ibu Ira terkurung dalam dinginnya penjara sendiri tanpa bisa berbuat apa – apa.

Malangnya nasib ibu Ira cobaan yang datang bertubi – tubi tanpa daya untuk bisa menjegal itu semua, badan terkurung pikiran melayang entah kemana mungkin wanita lain bisa gila tapi ibu Ira tidak !, seorang wanita yang tangguh dan hanya kepada sang pencipta Allah SWT lah pengaduannya, “sholat dan sabarlah jalan keluarnya” gumamnya setiap waktu.

Dalam penjara ibu Ira memang terus dikunjungi oleh sang suami serta adik – adiknya setiap minggu, mungkin itu adalah obat luka dan pedihnya hati bagi ibu Ira dan sudah bisa merelakan setiap takdir hidupnya, setiap goresan luka hati perlahan mulai sembuh dan sedikit  demi sedikit terlupakan, harapan kembali tumbuh tatkala seminggu menjelang kebebasannya sang suami menjenguk ibu Ira tidak sabar rasa hatinya untuk menghirup udara segar kebebasan yang akan segera datang.

“ Kita akan bangun kembali rumah tangga kita, dan kita akan berkumpul kembali dengan anak – anak kita “ ujar sang suami kepada Ira, hayal ibu Ira pun akan keluarga yang bahagia membumbung tinggi, rasa syukur pada Sang Rahman pun tak pernah luput dari lidahnya yang terus berzikir karunia Allah yang lama dinanti akan segera datang menghampri keluarga ibu Ira.

Akhirnya hari bahagia itu datang, hari yang telah ditunggu selama dua tahun itu telah hampir tiba ketika suara orang mengaji terdengar merdu dari masjid diluar tembok tinggi penjara yang mengalun bagai simphoni kabahagiaan bagi ibu Ira, sholat subuh telah selesai dilaksanakan ibu Ira dan memasukkan sehelai demi sehelai baju yang bisa dipakainya ke dalam tas dan membagikan apa saja barang yang bisa bermanfaat bagi kawan satu selnya, “ aku tidak akan pernah kembali lagi kedalam penjara ini “ tekad ibu ira didalam hatinya.

Waktu menunjukkan pukul 08.30 pagi ketika ibu Ira keluar dari dalam pintu penjara untuk menatap luasnya dunia ini, betapa beharganya sebuah kebebasan bagai burung yang terlepas dari dalam sangkarnya, kebahagiaan yang sangat luar biasa hingga menetes haru air matanya tanpa terasa. Rindu yang tidak terbendung membuat ibu Ira melangkah lebih cepat, rindu kepada anak dan suami, rindu berkumpul dengan seluruh keluarganya melihat tawa riang anak – anaknya, melihat anaknya tumbuh dan besar laksana para pandawa yang akan melindungi ibunya.

“ Dimana suamiku ? “ ujar ibu Ira kepada dua orang adiknya yang datang menjemput kepenjara, ibu Ira tidak melihat kehadiran suaminya yang sungguh ia rindukan dan ingin dipeluknya. “ Belum datang kak “ seru adiknya yang laki – laki dan ibu Ira hanya diam saja terlihat diwajahnya penuh tanya dan gelisah kemana sang suami yang datang satu minggu yang lalu dengan sejuta harapan dan janji – janji ?.

Lama duduk menunggu kedatangan sang suami ibu Ira masih berharap akan kedatangannya, makanan yang terhidang diatas meja sebuah rumah makan diluar penjara tidak membuat ibu Ira berselera menyantapnya, matanya masih tertuju kepada penjara dan berharap sang suami akan datang menjemputnya.

Sudah seminggu lamanya ibu Ira bebas dari jeruji besi dan saat ini ia masih menumpang disalah satu indekost kerabat jauhnya yang tengah kuliah semester awal, hatinya masih gelisah dan penuh tanya, doa yang tiada putus pun ia panjatkan kepada Sang Khaliq, Sang pemilik takdir semoga ia mendapatkan takdir yang lebih baik dari pada saat ini, sang kerabat jauh mencoba menghibur dengan berbagi candaan dan gurauan akan tetapi hati yang resah tentu tidak dapat indahkan begitu saja, kemana dan apa yang akan ia lakukan masih menjadi misteri. Hatinya terasa hancur dan tidak memilik gairah dalam hidup yang selama ini menjadi cirinya.

Rindu kepada keluarga sudah tidak tertahan lagi ibu Ira mendatangi kantor telekomunikasi dan meminta tolong untuk menghubungi salah seorang adiknya di Ibu Kota tanpa satu sen uang pun dan memohon kepada seorang petugas telekomunikasi untuk membantunya, “ ini panggilan interlokal buk, biayanya mahal saya ga berani nanti saya bisa dapat teguran dari kantor “ ujar petugas telekomunikasi tersebut, ibu Ira terus memohon kepada petugas tersebut dengan menghiba hingga mengetuk pintu hati petugas tersebut “ baik buk, tapi kita tanya dahulu apakah bisa tagihan interlokal ini ditagihkan kenomor tujuan ini “ ujar petugas telekomunikasi tersebut dan ibu Ira meng “ iya kan “ nya.

“ Selamat malam dik, ini interlokal apa bisa tagihan interlokal ini tagihan pembayarannya dialihkan ke nomor rumah ini ? “ ujar petugas telekomunikasi tersebut kepada seorang anak yang mengangkat telepon rumah adik ibu Ira, “ bisa “ jawab anak tersebut dan ibu Ira pun mulai berbicara dengan si anak “ Assalammu alaikum, ini siapa nak ? “ tanya ibu Ira, “ Bimo, ini siapa ? “ terdengar begitu merdu suara anak itu bagi Ira, seperti tanah yang tersiram hujan cukup lebat hati ibu Ira ketika mendengar suara anak tertuanya, air mata nya tanpa sadar sudah mengalir kerinduan kepada anak – anaknya sungguh hal terberat yang ditanggung dalam hatinya, “ ini ibuk nak, bagai mana kabar Bimo ? “ dan terdengar sayup dari dalam telepon suara tangis dari Bimo “ ibuk, ibuk dimana jemput bimo buk “ ujarnya, “ iya nak sabar ya sayang nanti ibuk jemput, Bimo jangan nangis ya, Bimo sudah sholat ?, sholat ya nak do’akan ibuk bisa jemput bimo “, jawab ibuk Ira, suara tangis bimo makin menjadi mungkin hal yang sama dirasakan Bimo rindu pada ibunya, ibu kandungnya.

Percakapan dengan anak tertuanya Bimo semalam membuat ibu Ira kembali menemukan semangat hidupnya, suara anaknya yang minta untuk dijemput membuat ibu Ira tidak merasa sendiri lagi semangatnya muncul kembali, ibu Ira ingin berkumpul lagi dengan suami dan anaknya walau sang suami tidak pernah diketahui lagi keberadaannya sejak dua minggu yang lalu ketika sang suami datang menjenguk ibu Ira seminggu menjelang kebebasannya dari dalam jeruji besi, dengan dibekali ongkos yang diberikan oleh adik – adiknya ibu Ira berniat pergi mencari sang suami kesalah satu Sekolah Menengah Pertama diluar kota tempat sang suami bertugas.

Ibu Ira kembali bahagia ketika salah seorang adik ibu Ira datang kerumah kostan tempat ibu Ira menumpang tinggal dengan membawa anaknya yang terkecil, sibungsu yang masih berusia sekitar 4 tahun Danu, ibu Ira meninggalkan danu ketika ia masih berusia 2 tahun dan sekarang Danu dihadapannya telah tumbuh dengan sehat dan gagah, selama ini Danu diasuh oleh keluarga ibu Ira dikampung halamannya disebuah desa kecil. Ibu Ira mencoba untuk menggendong Danu tapi ia menolak dan menangis, Danu tidak mengenali lagi ibu Ira tapi ibu Ira tidak memaksakan diri untuk menggendong Danu, “ mungkin ia butuh waktu, ia masih kecil “ ujar ibu Ira kepada adiknya dan mulai saat itu Danu telah tinggal bersama ibu Ira.

Ibu Ira telah sampai dikota tujuan bersama Danu putra bungsunya, kira – kira 1,5 jam perjalanan dari tempat adik – adik ibu Ira tempat ia menumpang selama lebih kurang 8 hari setelah kebebasannya, kota itu membuat ibu Ira mengingat kenangan – kenangan indah dan pahit hidupnya, memang dikota ini lah ibu Ira memulai kehidupan dengan sang suami dan dikota ini jugalah semua kehidupan ibu Ira hancur, ibu Ira saat ini tengah berada didalam sebuah kantor kepala sekolah SMP dikota tersebut, “ suami ibuk hari ini libur tidak ada jam mengajarnya, sekitar dua hari lagi suami ibu masuk “ ujar kepala sekolah tersebut dengan banyak memberikan nasehat – nasehat agama tentang kesabaran dalam menerima takdir, kejujuran, dan berbagai banyak nasehat kehidupan yang baik, “ saya cuma tidak habis pikir kenapa suami saya begitu pak, sekitar dua minggu yang lalu ia masih menjenguk saya ke dalam LP dan berjanji akan menjemput saya ketika bebas, tapi setelah itu tidak pernah ada kabar bahkan anaknya pun tidak pernah dilihat lagi “ ujar ibu Ira sambil memangku Danu yang rewel karna kelelahan dalam perjalanan menaiki bus umum.

Ibu Ira akhirnya meninggalkan ruangan kepala sekolah tersebut dan hendak kembali ke tempat indekost kerabatnya tempat ia menumpang sementara, namun sibungsu Danu berujar lapar kepada ibu Ira karna waktu telah lewat tengah hari dan Danu memang baru makan tadi pagi saja menjelang berangkat ketempat sang suami mengajar, ibu Ira pun juga sudah mulai merasakan lapar dan melihat sisa uang yang ada dalam dompetnya tidak mencukupi untuk makan hanya sisa untuk ongkos saja, didalam pekarangan SMP tersebut ibu melihat sebuah kantin dan ia membawa Danu kesana berniat membelikan sepotong roti untuk sikecil yang tengah lapar tersebut.


Mendekati kantin ibu Ira melewati sebuah parkiran motor dengan tiang kayu dan beratapkan seng, ibu Ira berjalan melewati dengan melihat sepintas motor – motor yang terparkir disana dan ia melihat sebuah motor yang familiar cuma ia lupa dimana pernah melihatnya, ibu Ira masuk kedalam kantin yang masih sepi karena para siswa tengah sibuk belajar dikelas dan duduk sambil menyuapkan sepotong roti untuk Danu sementara ia sendiri menahan lapar hanya dengan meminum air putih sambil, mengingat dimana ia pernah melihat motor tersebut dan ia terkejut bahwa itu adalah motor yang ia beli bersama sang suami beberapa tahun yang lalu, dan ia tersadar bahwa suaminya ada didalam lingkungan SMP tersebut.

Segera ibu Ira hendak bermaksud mencari keberadaan sang suami dengan menunggui motor tersebut, ia bergegas menggendong Danu setelah membayar sepotong roti yang ia beli dan beranjak keluar dari kantin tersebut dan matanya langsung tertuju kepada parkiran tersebut, dan motor yang dikendarai suaminya sudah tidak ada lagi disana, spontan ibu Ira berlari sambil menggendong Danu ke arah pekarangan luar sekolah dan melihat sang suami sedang mendorong motor tersebut dengan tergesa “ Abang, tunggu “, ujar ibu Ira setengah berteriak. Sang suami menengok kebelakang dan langsung menaiki motornya dan berusaha menghidupkan motornya namun tak kunjung hidup.

Ibu Ira berlari mendekati sang suami dengan menggendong Danu dan ia sampai kedekat sang suami dengan nafas yang terengah – engah, “ kenapa abang menjauh dari aku ? ‘ ujar ibu Ira sambil mendudukkan Danu diatas sepeda motor dibelakang ayahnya, “ kita jangan bicara disini, kita cari tempat lain untuk bicara “ ujar suaminya dengan masih mencoba menghidupkan motornya, ibu Ira meng “ iya kan “ dan motor suaminya pun bisa hidup ketika ibu Ira terlihat lengah sang suami menggas motornya hingga Danu yang duduk diatas motor tersebut nyaris jatuh dan cepat ditangkap oleh ibu Ira yang menyaksikan suaminya kabur dengan perasaan hancur dan pastinya malu ditonton oleh para siswa SMP tersebut yang baru saja istirahat jam pelajaran sekolah.

Ibu Ira bermaksud kembali menghadap kepala sekolah SMP tersebut untuk bertanya, emosinya memuncak karna merasa ditipu secara mentah – mentah, namun sang kepala sekolah menurut guru – guru yang berada disana sedang keluar sekolah dan ibu Ira pergi dari sekolah tersebut dengan segudang perasaan yang remuk, hancur, dan penuh tanya, “ kenapa ? “.

Kepala sekolah yang memberikan nasehat – nasehat agama dan nilai kesabaran serta kejujuran dalam setiap katanya mampu menipu dirinya, sang suami lari pergi meninggalkan dirinya dan hampir saja membuat anak kandungnya celaka dan ibu Ira kembali menanamkan dalam hatinya “ ini takdir dari Allah, ini takdirnya dan baik untukku “ dan ia pun terlelap sambil memangku Danu tengah bermain dengan jemarinya dalam bus yang membawanya meninggalkan kota tersebut.
Lebih baru Lebih lama