Kamis, 02 Agustus 2012 M / 13 Ramadhan 1433 H
Zainal Fadhly |
Sehubungan dengan hal itu, HN mencoba meninjau pikiran dan telaahan dari kaum intelektual terkhusus mahasiswa dalam menanggapi fenomena MTQ ini. Karena hal ini berhubungan dengan karakter pemuda, maka kami memandang mahasiswa lebih tepat, dan juga kita semua masih beranggapan bahwa mahasiswa sebagai kaum intelektual masih memegang teguh idealisme yang tidak mudah terpengaruh oleh situasi sosial dan tradisi yang ada.
Beberapa hari lalu HN menghubungi Zainal Fadhly salah seorang mahasiswa IAIN IB Padang semester 9 program khusus Tafsir-Hadist yang berasal dari V kampuang, jorong Bingkudu, nagari Canduang Koto Laweh, kecamatan Canduang. Pemuda Canduang alumni Pompes MMUS (Madrasah Miftahul Ulumi Syar'iah) tahun 2008 ini dulu pernah juga mengajar di MDA Mushalla Al-Jihad V Kampuang dan aktif mengelola MTQ bersama pemuda Bingkudu. Kutipan inspiratif yang menjadi semboyannya adalah "Dimana ada ilmu, disitu universitasku".
Zainal saat dihubungi HN Ahad (29/07) lalu melalui situs jejaring sosial facebook memaparkan bahwa "Pada masa sekarang, selain menjadi tradisi masyarakat, Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) telah menjadi program rutin tahunan pemerintah, mulai dari tingkat nasional, kabupaten bahkan sampai ke kecamatan dan pemerintahan yang lebih terendah.
Beberapa bulan lalu telah digelar MTQ tingkat Nasional yang ke XXIV yang bertempat di Ambon pada tanggal 8 - 19 Juni 2012 dimana propinsi Sumatera Barat menempati peringkat ke 5 dari 33 Propinsi di Indonesia.
Sedangkan Pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Tingkat Kabupaten Agam ke XXXV yang telah dilaksankan pada tanggal 4 sampai 7 Juli 2012 lalu di kecamatan Canduang menempatkan kecamatan Tilatang Kamang sebagai juara umum, kecamaan IV Koto juara II, kecamatan Ampek Angkek juara III, kecamatan Canduang juara IV, dan kecamatan Baso juara V.
Merujuk kepada keputusan bersama menteri Agama dan menteri dalam negeri nomor 182 tahun 1982 dan nomor 44 Tahun 1982 tentang usaha peningkatan baca tulis Al-Qur’an bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari, kemudian peraturan daerah kabupaten Agam nomor 1 tahun 2001 tentang pandai baca tulis huruf Al-Qur’an ( Lembaran Daerah Tahun 2001 Nomor 2 ). Memperhatikan tujuan dan target penyelenggaraan MTQ tersebut memang terlihat sangat ideal tanpa harus diperdebatkan lagi. Namun dalam pelaksanaan di lapangan nampak perbedaan yang mencolok dari yang dituangkan pada landasan Yuridis.
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang pada awalnya hanya merupakan kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam peringatan hari-hari besar Islam dalam bentuk perlombaan membaca Alqur’an dan terkadang divariasikan dengan menambah bacaan terjemahaan beserta syarahnya yang dikenal dengan MSQ (Musabaqah Syarhil Qur'an). Pada masa sekarang ia telah mengalami perluasan makna menjadi sebuah even yang mencakup banyak cabang perlombaan, seperti Tilawah Al-Qur’an,Tahfizh Al-Qur’an, Tartil Qur’an, Khattil Qur’an, Tafsir Qur’an, Syarhil Qur’an, Fahmil Qur’an, Khutbah Jum’at / Azan, Kitab Standar, dan lain-lain. Pada masing-masing cabang itu terdapat golongan dan tingkat-tingkatan pula.
Memperhaitakan Fenomena MTQ yang sudah berlalu menunjukkan adanya pergeseran nilai yang terkandung dalam tujuan awal pelaksanaan MTQ itu sendiri. MTQ yang pada masa dahulunya diadakan di Mesjid-Mesjid, Mushalla-mushalla bertujan untuk menstimulus generasi muda untuk lebih mempelajari Al-Qur’an dan sebagai barometer dari usaha meningkatkan pembinaan dalam membaca dan Memahami Al-Qur’an. Sedangkan sekarang nampak lebih berorientasi kepada perolehan juara, mendapatkan bonus, prestise dan nama baik yang diperebutkan oleh peserta musabaqah dan kepala pemerintahan.
Hal ini dapat dibuktikan dari upaya yang dilakukan oleh official MTQ untuk mendatangkan kafilah dari daerah lain atau boleh disebut sebagai pemain bayaran.
Peserta musabaqah ini sebelum terjun ke arena terlebih dahulu harus mengikuti TC (Training Centre). Sayangnya hal ini hanya dilakukan ketika ada moment MTQ saja. Selesai MTQ, para peserta kembali ke daerah masing-masing tanpa ada tindak lanjutnya. Pembinaan-pembinaan yang dilakukan tidak lagi untuk penanaman dan pembudayaan nilai-nilai Al-Qur’an, namun sifatnya hanya sebagai pelatihan atlet semata.
Pada kesempatan lain di daerah yang berbeda, ketika penyelenggaraan MTQ kebanyakan diantara para pemain bayaran tadi ikut bertanding pula, padahal sebelumnya mereka ikut sebagai utusan dari daerah lain, pada kesempatan itu ditemui ia datang sebagai utusan dari daerah lain pula. Sehingga terlihatlah bahwa orangnya itu-itu juga. Ini membuka peluang bagi sang juara untuk memilih daerah yang nyaman untuk ia wakili. Diantara alasannya adalah perhatian dan bonus yang diberikan oleh daerah yang mengutusnya.
Disamping Fenomena diatas ada juga persoalan yang controversial di tengah masyarakat yaitu banyak terjadi manipulasi data (identitas peserta) bagi peserta yang didatangkan dari luar kecamatan / kabupaten / kota yang mengutusnya, ini dilakukan oleh pemerintahan kecamatan/kabupaten / kota dan juga ikut didalamnya institusi agama seperti KEMENAG, LPTQ dan lain-lain, seakan-akan mereka memiliki landasan hukum yang membolehkan demikian.
Jika diamati lebih dalam masih ada lagi fenomena-fenomena lain dalam persoalan MTQ yang dirasa janggal seperti kurangnya pembinaan dan kepercayaan kepada aset daerah sehingga official selalu mencari pemain bayaran dari luar" kata Zainal Fadhly mengakhiri. | Fitrayadi