PARADOKS MUSLIM - GETIR

Rabu, 07 Agustus 2019 M - 06 Dzulhijjah 1440 H
Oleh: Gusti Ananda


Bahar begitu orang memanggilku, baik para kawan sejawat ku dalam berdagang dari pasar ke pasar hingga para kawan pengajianku. Aku adalah salah satu dari beberapa orang yang cukup aktif didalam kelompok pengajianku yang biasa kami sebut dengan halaqoh atau pun liqo’ title ustadz pun melekat pada diriku, memberikan pengajian keberbagai masjid, mushalla, serta kelompk pengajian, dan saat ini aku tinggal dirumah kontrakan bersama istriku tercinta bersama beberapa ekor kucing, kami belum memiliki anak dan Alhamdulillah hidup kami sangat bahagia walau terkadang terasa sepi juga. Orang tua ku telah bercerai sejak aku duduk dikelas 6 SD, aku dibesarkan oleh paman dan bibi ku dari pihak ibu seperti kebanyakan anak – anak “ broken home “ pada umumnya aku cukup nakal dan sering berpindah sekolah, sering dimarahi dan diumpat sebagai anak yang tidak tahu diuntung, anak tidak punya bapak, nakal, pembohong, dan lain sebagainya.

Ibuku tadinya adalah seorang guru Sekolah Menengah Pertama yang cukup baik dan enerjik, namun begitu aku tidak begitu dekatnya namun dia adalah ibu yang terbaik, penuh kasih sayang dan seorang pejuang yang tangguh, begitu aku sering menyebut ibuku, akan tetapi aku dan ibuku memiliki hubungan yang renggang mungkin karena aku tidak dibesarkan oleh beliau akan tetapi itu tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat dan sayangku terhadap beliau.

Sekarang ibuku telah tiada dan banyak penyesalan yang aku rasakan didalam diri ini, mungkin karna bakti ku yang kurang atau pun penyesalan – penyesalan atas kedurhakaan ku terhadap beliau. Memang selama ini aku banyak berprasangka buruk terhadap ibuku, tidak pernah melihat sisi baik dalam dirinya mungkin karna selama ini aku didoktrin oleh keluarga besar ibuku yang memang taat dalam beragama bahwa ibuku adalah orang yang gagal dan apa yang dilakukannya tidak pernah benar, hal itu tertanam didalam hatiku hingga aku tidak pernah perduli terhadap segala yang dilakukan oleh almarhumah ibuku. Selama ini aku memang terkesan tidak terlalu peduli atau bisa dikatakan aku sangat sombong dan congkak terhadap ibuku dan memang aku tidak pernah mengetahui seperti apa ibuku sesungguhnya.

Sejak beranjak dewasa aku begitu banyak mendengar keluhan keluargaku tentang diriku dan ibuku yang menurut ku sangat menyakitkan hati, ketika bibi dan pamanku menceritakan bagaimana buruknya ibuku serta mereka mengingatkann ku agar jangan seperti ibuku karna bukan contoh yang baik, jangan ditiru, ibumu hanya mengejar dunia, ibumu beragama karena emosi sesaat, hal seperti itu sering aku dengar setiap kali aku berbuat kesalahan. “Gampang sekali keluarga besarku yang taat beragama menghakimi ibuku”  begitu yang sering aku ucapkan dalam hatiku.

Malangnya ibuku, aku yang berbuat kesalahan malah beliau yang terseret – seret atas kesalahanku yang sama sekali tidak beliau ketahui, berat rasanya mendengar hal seperti itu dan aku mulai menghindari untuk dekat dengan keluarga besar ibuku dan mulai menjauhkan diri dari ibuku, pada hal ibuku yang sering membantu dan membelaku tanpa aku sadari sama sekali dan bahkan ketika aku sudah mulai aktif dalam halaqoh banyak mendengar dan aku sendiripun memberikan siraman - siraman rohani untuk berbakti kepada ibu namun masih saja aku menjauhkan diri dari ibuku karna takut dicap “ Bahar itu mirip seperti ibunya, membuat masalah saja“.

Kini penyesalan itu tumbuh dengan sangat cepat ketika aku melihat ibuku terbujur tidak berdaya dirumah sakit dengan berbagai alat yang terpasang ditubuhnya, kulihat wajah ibuku dengan rambut berubannya sungguh menyakitkan hati, serasa linu diseluruh persendian, serasa jantungku diremas dan aku tidak berdaya hanya menangis menyesali diri, ku ambil tangan ibuku dan ku letakkan di atas kepalaku dan berharap tangan itu bergerak mengusap kepalaku tapi tidak pernah terjadi, yang ada hanya bayangan dari segunung penyesalan, akan tetapi dalam ketidak berdayaan ibuku masih dapat kurasakan melalui tangannya yang tidak bergerak rasa kasih sayang yang tulus yang selama ini aku cari, bukan kasih sayang yang aku dapatkan dari seorang istri akan tetapi kasih sayang abadi dari ibuku.

Aku tatap wajah ibuku melihat setiap detail dari raut wajahnya yang tidak sadar, aku memohon ampun kepadanya untuk seluruh dosa dan salahku untuk, seluruh kesusahannya dalam memperjuangkan diriku, ibu ku sayang anak mu ini sungguh durhaka kepada mu !!.

Aku berharap ibuku bangun dan berucap “ mama maafkan kamu nak, mama maafkan kamu “, namun ibuku tidak pernah bangun, aku berharap mendengar suaranya, aku berharap untuk menatap matanya, aku berharap untuk bisa berkhidmad dengan khidmad terbaik kepadanya, namun ibuku masih juga terbujur tidak berdaya.

Selama ini aku hanya mendengar ibuku tidak pernah benar dalam menjalani hidup dari paman dan bibiku dan aku menjauhinya, namun dalam ketidak berdayaannya aku banyak mendengar bahwa ibuku orang yang baik, bahwa ibuku sering membantu keluarga dan temannya, dan ibuku adalah orang periang, ibuku seorang yang jujur, ibuku seorang yang memegang prinsip.

Penyesalan saat ini menusuk relung hatiku ketika ibuku meminta kepada ku untuk tidur dekatnya tapi malah kutinggalkan karna kesombongan dan keangkuhanku, karena doktrin yang kuterima “ jangan seperti ibumu “, kini hanya air mata yang mengalir melihat nafas terakhir ibuku. Matanya disorot lampu senter oleh seorang perawat rumah sakit, perawat itu berujar “ maaf pak, ibu sudah tidak ada “. Ketika itu setengah berteriak aku ucapkan “ inna lillahi wa inna ilaihi roji’un “ tanpa tahu kapan akan melihat ibuku lagi, tanpa tahu kapan akan merasakan kasih sayangnya lagi, tanpa tahu kapan akan mendengar suaranya lagi.

Aku mendapatkan kemuliaan mengimami sholat jenazahnya, menyambut dan meletakkan jenazahnya ke dalam liang lahat serta menimbunnya dan  ibuku sudah tidak berada didunia ini lagi, ibuku pergi dengan wajah penuh senyuman, ibuku pergi dengan penuh kepuasan, ibuku pergi meninggalkanku yang penuh penyesalan. Rasanya title ustadz yang dipanggilkan kepadaku tidak lah membuat akhlakku baik terhadap ibuku, setiap kata yang aku ucapkan dalam setiap pengajianku yang menyeru kepada amar ma’ruf nahi munkar dan jihad ternyata tidak mampu aku jalani untuk berbakti kepada ibuku, ibuku pergi dengan diiringi jama’ah sholat jenazah yang ramai yang entah siapa aku tidak mengetahui, terima kasih ya Allah, ya Robb, engkau telah muliakan ibuku.

Yang ada hanya penyesalan yang bertumpuk didada, siapa yang patut aku salahkan, apakah paman dan bibiku yang selalu mendoktrin kan tentang kegagalan ibuku, keburukan ibuku, hingga aku menjauhi ibuku, ibu kandungku, dan berprasangka buruk terhadapnya, tapi aku hanya menyesali diriku yang memang tidak mampu menjadi anak yang sholeh ketika ibu masih hidup serta tidak mampu memahami agama secara baik, hingga aku menjuhkan diri dan bersikap sombong dan congkak terhadap ibuku.

Ibuku mungkin gagal dalam memulai hidupnya, akan tetapi ibuku mengakhiri hidupnya dengan baik karena rahmat Allah, baik diawal belum tentu baik diakhir, buruk awal belum tentu buruk diakhir, dan sungguh kebaikan diakhirlah (husnul khotimah) yang lebih utama.

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ، قاَلُوُا: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ؟ قَالَ: يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ مَوْتِهِ. رَواه الإمام أحمـد والترمذي وصحح الحاكم في المستدرك.

“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada hambanya, maka Allah memanfaatkannya”. Para sahabat bertanya,”Bagaimana Allah akan memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab,”Allah akan memberinya taufiq untuk beramal shalih sebelum dia meninggal.” [HR Imam Ahmad, Tirmidzi, dan dishahihkan al Hakim dalam Mustadrak.

“ Jangan mudah untuk menilai ibumu, sungguh engkau tidak mengetahui seperti apa dia berjuang dalam membesarkanmu, setiap kata dan caci maki ditelannya untuk mu, itu bukanlah pengorbanan tapi adalah kasih sayang, sayangi ibumu ketika beliau masih hidup, jangan sesali nanti !!! “.

“Ya Allah, ampunilah dosa ibu ku, terimalah seluruh
amal ibadahnya, sayangi lah beliau ya Allah, berikanlah
tempat yang baik bagi ibuku “

“ Ya Allah, ibuku orang baik ampunilah beliau, ya Allah
engkau lah yang maha kuasa dan maha pengampun “
Lebih baru Lebih lama